Walau Sakit, Terus Berusaha Lagi, Lagi dan Lagi
Usai dipecat dan dirugikan secara sepihak oleh manajemen Persiwon Wondana, Paul Cumming nyaris tak punya kegiatan, pekerjaan dan penghasilan. Rumahnya di Lereng Semeru sejak 2011 pun bukan miliknya, melainkan investasi sang kakak, Rosalind Cumming -- seorang pelukis yang cukup punya nama di Shrospire, satu daerah di bagian barat Inggris.
Tragisnya, saat proses membangun rumah itu, ia kembali dan lagi-lagi kena tipu. Harga tanah yang seharusnya Rp 40 juta malah ia beli dengan Rp 160 juta, harga yang mahal bagi sebuah tanah yang jauh dari keramaian di tengah desa. Tak hanya itu, bangunan yang mestinya awet dan kuat, dalam beberapa bulan malah sudah retak-retak.
Ia merasa dijahili habis-habisan para pekerja tukang bangunan yang bekerja untuknya. Dana Rp 400 juta yang ia keluarkan, tak sebanding dengan kondisi bangunan yang ditaksir hanya sekitar sepertiganya. Pondasi bangunan dibangun tanpa komposisi semen yang pas, arsitekturnya pun asal-asalan. Beberapa tembok malah miring. Alhasil, penghasilannya yang tak seberapa itu ia habiskan untuk memperbaiki rumah.
Tapi Paul tak mau berdiam diri. Ia merasa malu juga hanya mengandalkan sang istri yang banting tulang sebagai guru dengan gaji dan kepedulian kepada dirinya yang tak seberapa itu. Mustahil berpangku tangan. Musykil untuk menyerah. Maka ia memutar otaknya untuk bertahan.
Karena itu, dengan modal seadanya yang ia dapat dari sang kakak di London, pada bagian belakang rumahnya ia membuka usaha rental Play Station.
Banyaknya unit mencapai 7 mesin. Tarif yang ia patok Rp 2.000/jam.
Seberapa menguntungkan sih bisnis seperti ini? Ya "receh" saja. Per
bulan ia hanya bisa meraup omzet kotor kisaran Rp 600 ribu - 1 juta.
Hasil itu harus dipotong dengan biaya listrik dan gaji anak tetangga
berusia 14 tahun yang membantunya menjaga rental.
Anak itu
bernama Fikri. Saat ini dialah asisten Paul. Per hari ia dibayar Rp 15
ribu untuk mengurusi rental PS dan membantu Paul. Omzet yang ia dapat
setiap bulan jarang masuk kantong pribadi, lebih sering untuk membayar
listrik, gaji fikri maupun servis stik PS yang sering rusak.
Berbagai macam upaya ia lakukan untuk menambah uang. Meja foosball
usang yang ia punya, disewakan dengan harga seribu perak setengah jam.
Banyak anak-anak yang pakai, tapi seringnya dipakai tanpa bayar.
Di
belakang rumahnya, ia pun memiliki kolam renang sederhana, airnya
diambil dari PAM Desa. Untuk memenuhi kolam itu dengan air PAM Desa,
Paul harus menunggu sampai 7 hari 7 malam.
Sebulan kolam itu
efektif dipakai paling hanya 20 hari, 3 hari sisanya dipakai Paul
seorang diri untuk menyikat dan mengurasnya. Maklum, air desa sering
berlumut dan berdaki. Untuk berenang di sana, ia mematok tiket Rp 1.000
sekali masuk. Paul sebenarnya ingin menaikkan harga itu dari jadi Rp
2.000, tetapi ia merasa berat.
Dalam suatu adegan yang saya lihat
dengan mata kepala saya sendiri, Paul mengutarakan keinginannya itu
kepada anak-anak yang mampir ke rumahnya. "Gimana kalau dinaikkan jadi dua ribu, masih mau gak?" Tanya paul. "Gak Om, mahal," jawab sang bocah.
"Tuh, kan,
lihat, mereka gak mau saya naikkan jadi dua ribu. Mereka pernah bilang
ke saya, jika dinaikkan dua ribu, mereka lebih memilih berenang di
sungai daripada di sini," ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya.
Tahukah anda penghasilan yang diterima Paul dari usaha kolam renang dan foosball-nya itu? Hanya Rp 25 ribu/bulan yang masuk dompet.
Play Station yang jadi sandaran hidup
Malam
itu waktu menunjukan pukul 21.00 WIB, di luar sudah sangat sepi, hanya
terdengar suara jangkrik. Mata Paul sayup-sayup tak kuat menahan rasa
kantuk. Tapi ia tampak gelisah tak karuan. Sebabnya, dua gerombolan
remaja datang secara bergantian untuk menyewa Play Station untuk dibawa
pulang ke rumah. Tarif yang dipatok Paul untuk menyewa seharian adalah
Rp 20 ribu/hari.
Tetapi malam itu Paul mencium gelagat tak
mengenakan. Ciri-ciri pelanggannya itu sama seperti berita di koran
lokal belum lama ini, yang memberitakan beberapa anak SMP yang di-drop out gara-gara ketangkap mencuri PS di Tumpang, 8 km dari rumahnya.
Setelah
diusir secara halus, ia takut gerombolan itu kembali. Karenanya ia tak
bisa tidur. Play Station miliknya itu kini jadi jimat yang amat berharga
baginya. Kendati hasilnya tak seberapa, tapi mesin-mesin buatan Jepang
itu adalah penyambung hidup di masa senja. Ia tak ingin PS-nya kembali
dicuri orang.
Sejak memulai usaha, sebenarnya ia memiliki 10 buat
Play Station, namun tiga bulan lalu Paul kecurian, dua mesinnya raib
dirampok maling. Yang lebih getir, yang mencuri adalah anak kampung yang
dipercayakan menjadi pembantunya menjaga rental PS. Sedangkan satu
mesinnya lagi disewa orang tapi tak pernah dikembalikan hingga sekarang.
Tinggal
di Malang, Paul selalu bernasib malang. Sama seperti dulu, hidupnya
tetap saja tak lepas dari ditipu, dijahili dan dizalimi. Sering
pelanggan rental PS nya kabur dan tak bayar. Sering pula ia kena SMS
teror dari warga sekitar. Propaganda guru ngaji di kampung, sempat
membuat usahanya nyaris gulung tikar.
"Guru ngajinya pernah
bilang ke anak- anak di sini, orang yang main PS tak akan masuk surga.
Gara-gara ucapan itu anak-anak kecil di sini takut dan gak mau main PS
lagi," katanya.
Kejahatan dibalas dengan senyuman
Usaha
lain tak letih-letihnya dilakoni Paul untuk bertahan hidup. Ia pun
sempat bertani dengan menanam pohon jeruk di kebun belakang rumahnya.
Ada 100 pohon, biaya perawatannya mencapai 2 juta rupiah. Hasil panen
yang didapatkan hanya 450 ribu. Sialnya lagi, Paul ditipu oleh petani
lokal yang mem-blow-up biaya perawatan menjadi berkali-kali lipat.
Kini
pohon jeruk itu masih tertanam di sana, dibiarkan tumbuh liar.
Terkadang Paul kesal jeruk-jeruknya yang tak terawat itu hilang dicuri
orang.
"Kurang ajar juga anak-anak itu, meskipun sudah dipagar tetap saja mereka mencuri," geramnya.
Di
dusun itu terkadang Paul memang tak dihargai. Kerap diledek dan
dibentak anak-anak desa yang jadi pelangganya. Hanya saja semua itu
dibalas kakek tua itu dengan senyuman lebar yang jadi ciri khasnya.
"Pelanggan adalah raja," tuturnya singkat.
Anak-anak itu mungkin
tak tahu siapa yang ada di depannya itu. Sesosok pelatih asing yang
lebih berjiwa nasionalis ketimbang orang Indonesia itu sendiri. Ia rela
tinggal di pedalaman hutan serta pesisir Papua dan Sumatra hanya untuk
mengembangkan sepakbola. Ironisnya, selama itu juga ia terkena penyakit
malaria hingga 14 kali: 4 kali malaria tropika, 10 kali malaria
tessiana.
Takut melatih lagi karena penyakit
Sudah
menjadi tekadnya, Paul enggan melatih klub-klub besar di tanah jawa. Ia
mengaku lebih bersemangat membesarkan klub-klub kecil yang belum
dikenal orang macam Perseman Manokwari dan PSBL Bandar Lampung. Tawaran
dari Persib Bandung dan Persebaya pernah ditampiknya dengan alasan
idealismenya itu.
Tapi kini idealisme itu kini hanya jadi cerita.
Toh ia enggan kembali menjadi pelatih sepakbola. Oleh dokter ia
diagnosa menderita penyakit spondilosis [sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang].
"Dokter
bilang ke saya gak boleh terjatuh atau terpeleset, sekali itu terjadi
saya gak akan bangun lagi. Saya jadi kepikiran terus, saya jadi trauma
untuk kembali melatih sepakbola takut terpeleset saat latihan," ujarnya.
Tragis
memang. Saat ini ia pun menderita penyakit lain. Keningnya terluka dan
terus menerus mengeluarkan darah. Kondisi ini sudah terjadi setahun
lamanya. Plester dan perban selalu terpampang saat Paul berkaca.
Darahnya memang sulit membeku, tapi itu bukan penyakit gula. Entah apa
nama penyakit itu dan sampai sekarang luka ini tak sembuh karena Paul
memang tak mampu ke dokter untuk memeriksanya. Keuangannya yang
pas-pasan jadi penyebabnya.
Untuk berobat ke Kota Malang,
setidaknya ia perlu biaya dokter yang mahal serta ongkos Rp 250 ribu
untuk menyewa mobil. Paul memang sudah tak kuat lagi naik motor dan
angkutan umum. Satu-satunya transportasi hanyalah menyewa mobil.
"Saya
tak punya uang untuk sewa mobil dan berobat, kalau ke Kota Malang saya
harus sewa mobil ke tetangga 250 ribu, saya gak kuat bayarnya," katanya
sembari mengerut.
sumber
Home »
Paul Cumming Pelatih Sepak Bola Indonesia yang Penuh Kesedihan (part 3)
» Paul Cumming Pelatih Sepak Bola Indonesia yang Penuh Kesedihan (part 3)
Paul Cumming Pelatih Sepak Bola Indonesia yang Penuh Kesedihan (part 3)
Posted by admin
Posted on 7:47 AM
with No comments
0 comments:
Post a Comment